Standardisasi Industri
Pembahasan mengenai UU No. 3 Tahun 2014
tentang perindustrian di bawah ini yaitu mengenai bab 7 yang menjelaskan “Standardisasi
Industri”. Berikut ini adalah pasal-pasal yang terkait, yaitu pasal 50 sampai dengan
pasal 61.
Pasal 50
(1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan,
dan pengawasan Standardisasi Industri.
(2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam
wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
(3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 51
(1) Penerapan SNI oleh Perusahaan Industri bersifat
sukarela.
(2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang telah menerapkan SNI dapat membubuhkan tanda SNI pada barang
dan/atau Jasa Industri.
(3) Terhadap barang dan/atau Jasa Industri yang
telah dibubuhi tanda SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Industri
harus tetap memenuhi persyaratan SNI.
Pasal 52
(1) Menteri dapat menetapkan pemberlakuan SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib.
(2) Penetapan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk:
a. keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan
tumbuhan;
b. pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. persaingan usaha yang sehat;
d. peningkatan daya saing; dan/atau
e. peningkatan efisiensi dan kinerja Industri.
(4) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan SNI yang telah ditetapkan.
(5) Pemberlakuan spesifikasi teknis secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan sebagian parameter SNI yang telah ditetapkan dan/atau standar internasional.
(6) Pemberlakuan pedoman tata cara secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan tata cara produksi yang baik.
(7) Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang telah
memenuhi:
a. SNI yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI;
b. SNI dan spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian; atau
c. spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan
secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian.
Pasal 53
(1) Setiap Orang dilarang:
a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada
barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi
teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau
b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang
dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
(2) Menteri dapat menetapkan pengecualian atas SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
Pasal 54
Setiap barang dan/atau
Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman
tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang
dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa
Industri.
Pasal 55
Menteri berkoordinasi
dengan menteri terkait menarik setiap barang yang beredar dan/atau menghentikan
kegiatan Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1) huruf b.
Pasal 56
Kewajiban mematuhi ketentuan
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara
wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 oleh importir
dilakukan pada saat
menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pasal 57
(1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui
penilaian kesesuaian.
(2) Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara
sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian
kesesuaian yang telah terakreditasi.
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah
terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga
penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri.
Pasal 58
Untuk kelancaran pemberlakuan
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib, Menteri:
a. menyediakan, meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana
laboratorium pengujian standar Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri;
dan
b. memberikan fasilitas bagi Industri kecil dan Industri menengah.
Pasal 59
Menteri mengawasi
pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal 60
(1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau
tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi
ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif.
(2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri
yang tidak menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. peringatan
tertulis;
b. denda
administratif;
c. penutupan
sementara;
d. pembekuan
izin usaha Industri; dan/atau
e. pencabutan
izin usaha Industri.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 serta tata cara pengenaan
sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penerapan
Standardisasi Industri di Indonesia
Badan Standardisasi Nasional (BSN)
menargetkan 50 persen industri di Indonesia akan menerapkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) hingga 2015 nanti. Sementara itu, Menteri Perindustrian MS
Hidayat telah menunjuk Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) sebagai pelaksana dan
pengawas pemberlakuan SNI atas 58 produk industri. Penunjukan ini tercantum
dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 109 Tahun 2010
tentang penunjukkan LPK dalam pemberlakuan dan pengawasan SNI atas 58 produk
industri secara wajib. Menurut Hidayat, kebijakan tersebut untuk menjamin
keefektifan pelaksanaan penerapan SNI wajib. Penerapan SNI merupakan bagian
dari upaya perlindungan konsumen dan penciptaan iklim persaingan usaha yang
sehat. Harapan dari penetapan aturan tentang penunjukan LPK dalam pengawasan
pemberlakuan SNI wajib dapat memberikan kepastian hukum dan kelancaran dalam
penerapan SNI sehingga target kebijakan tersebut bisa dicapai.
Melalui Permenprin ditunjuk pula sebanyak
20 Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) dan 35 laboratorium uji untuk penerapan
SNI wajib. Lembaga sertifikasi produk yang ditunjuk, antara lain Pustan
dan Sucofindo, sementara laboratorium ujinya antara lain Laboratorium Uji Balai
Besar Industri Agro serta Balai Pengujian Mutu dan Barang Ekspor Impor. Ditambahkan,
lembaga-lembaga yang penunjukannya dilakukan melalui proses evaluasi oleh tim
penilai tersebut selanjutnya akan menjalankan tugas dalam penerbitan Sertifikasi
Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI wajib untuk produk-produk industri makanan,
minuman, kimia dasar, kimia hilir, logam, tekstil dan aneka, permesinan, dan
elektronika.
Sebelumnya,
Wakil Ketua MASTAN, Syamsir Abduh mengatakan dari 8.000 standar yang
ditetapkan, saat ini baru 20 persen SNI diterapkan di Indonesia. "Tingkat
kesadaran perusahaan memang masih rendah untuk menerapkan SNI. Maklum, karena
SNI prinsipnya sukarela bagi perusahaan untuk mendaftarkan produknya ke
kami," jelasnya. Oleh karena itu, lanjutnya, BSN akan mengubah paradigma
para pengusaha agar mau meningkatkan kesadarannya akan SNI karena pada dasarnya
SNI mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia di dunia internasional.
Pengurus
BSN di tiap wilayah akan menyosialisasikan pentingnya SNI di setiap perusahaan
di daerah masing-masing. Peningkatan Kualitas Menanggapi kebijakan Menteri
Perindustrian, Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengerjaan Mesin dan Logam
Indonesia (Gamma) Ahmad Safiun mengatakan penerapan SNI wajib harus diikuti dengan
peningkatan kuantitas dan kualitas aparat di bidang tersebut.
Penerapan
SNI wajib ini bukan berarti masalah selesai. Lebih lanjut, implementasi
sejumlah SNI wajib sejak beberapa tahun terakhir belum mampu membendung serbuan
produk nonstandar karena masih ada masalah pemalsuan merek, label, dan produk. Wakil
Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Mohamad Amien mengatakan
dengan diterapkannya SNI tahun ini, diproyeksikan penjualan kaca lembaran akan
naik 5 persen sampai 6 persen dibandingkan dengan pencapaian pada 2009. "Penerapan
SNI wajib kaca lembaran membantu industri mempertahankan kinerja
penjualan," kata Amien.
Tanggapan mengenai penerapan standardisasi
industri di Indonesia yaitu tingkat kesadaran perusahaan-perusahaan di
Indonesia masih rendah untuk menerapkan SNI karena SNI prinsipnya sukarela bagi
perusahaan untuk mendaftarkan produknya. Seharusnya penerapan SNI
diberlakukan secara wajib, sehingga produk-produk di Indonesia memiliki
kualitas yang tinggi dan tidak kalah dengan produk-produk yang dihasilkan di
luar negara. Jumlah aparat pengawas yang mampu mengawasi peredaran jutaan
produk di pasar lokal juga seharusnya ditingkatkan dan diperjelas fungsi secara
teknisnya. Selain itu, peranan pemerintah dalam menanggapi peredaran produk
yang masih tidak memenuhi standar dan ilegal seharusnya lebih tegas, salah
satunya adalah dengan cara menarik produk tersebut dari pasar-pasar lokal.
Sumber: