Pendahuluan
Selama puluhan tahun, Indonesia
terjebak dalam sistem pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi.
Bangsa ini belum meraih kebebasan dalam mengelola sumberdaya alam yang
dimilikinya. Melalui kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia telah lepas
kendali dalam pengelolaan sumberdaya pertambangan yang dimilikinya. Sebenarnya,
negara kita adalah pemilik sumberdaya alam yang sangat kaya. Namun pada saat
mengelolanya negara telah dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing
yang dengan leluasa melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah
menguasai, mengeksploitasi dan menguras sumberdaya tersebut dengan target
produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan
justru mendukung penguasaan sumberdaya oleh asing. Misalnya UU No.25 Tahun 2007
tentang penanaman modal serta Peraturan Presiden No.76 dan 77 Tahun 2007, yang
seolah member jalan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai
perekonomian Indonesia, termasuk penguasaan sumberdaya pertambangan. Selain itu
juga, seperti pada kasus penambangan di hutan lindung yang semula dilarang,
seperti tercantum dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah dibolehkan
kembali dengan menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004. Amanat konstitutsi pasal 33
UUD 1945 menegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam Negara harus diperuntukkan
dan tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan
sumberdaya minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara
(minerba) sarta pengelolaan sumberdaya air.
PT Freeport Indonesia
Freeport McMoRan Copper and Gold pada
awalnya merupakan sebuah perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat
yang memiliki nama Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981
melalui merger antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport
Indonesia dan McMoRan Oil and Gas Company. Perusahaan minyak ini didirikan oleh
Jim Bob Moffet yang menjadi CEO Feeport McMoRan. Sejak menemukan deposit emas
terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia yang terletak di Papua Barat,
perusahaan ini berubah menjadi penambang emas raksasa skala dunia. Total asset
yang dimiliki oleh Freeport hingga akhir tahun 2005 mencapai 3.3 miliar US
dollar.
Aktivitas pertambangan Freeport di
Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini talah berlangsung selama 42
tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah
mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut,
namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan masyarakat lokal
disekitar wilayah pertambangan.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I
pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi
landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya
itu, KK I ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan No.11 Tahun 1967
yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK I. Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di
Etsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan
lubang sedalam 360 meter.
Pada tahun 1988, Freeport mulai
mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat
ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724.7
juta ton emas telah dikeruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah
mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman
800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu
lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan
negara yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola
tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa
rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg. Kerusakan lingkungan
telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.
Pelanggaran Terhadap Sertifikasi ISO
14001
Indonesia melalui produksi Freeport
tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga
Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993
hingga 1,06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada tahun 1995.
Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan kecenderungan untuk
terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen lainnya seperti Amerika dan
Canada telah mencapai titik maksimum produksi.
Permintaan akan bahan tambang di
pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus meningkat. Permintaan
tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan meningkatnya perekonomian
negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan peningkatan sektor industri,
terutama industri yang berkaitan dengan sektor telekomunikasi dan listrik. Dengan
permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport
memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat
ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport.
Produksi tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991
sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena semakin
besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini produksi
tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.
Wilayah penambangan PT Freeport saat
ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas
Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi
seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu
dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988)
dan periode Grasberg (1988-sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola
Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi
hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005
mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.
Freeport
selalu mengklaim berkomitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang kuat. Meskipun telah memiliki pengakuan ISO
14001 dan mengklaim memiliki program komprehensif dalam memantau air asam
tambang, Freeport terbukti tidak memiliki pertanggung jawaban lingkungan.
Perusahaan ini beroperasi tanpa transparansi dan tidak memenuhi peraturan
lingkungan yang ada. Terlepas dari keharusan untuk menyediakan akses publik
terhadap informasi terkait lingkungan, Freeport belum pernah mengumumkan
dokumen-dokumen pentingnya, termasuk Studi Penilaian Resiko Lingkungan
(Environmental Risk Assessment). Freeport juga tidak pernah mengumumkan laporan
audit eksternal independen tiga tahunan sejak 1999, seperti yang disyaratkan
Amdal. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan izin lingkungan.
Dampak yang dihasilkan secara kasat
mata akibat limbah Freeport tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang
mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan
kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah (wetland)
seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika
tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih
per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah
batuan (Waste Rock), tailing hingga air asam tambang (Acid Mine Drainage).
Hingga tahun 2005, setidaknya sekitar
2,5 milyar ton limbah batuan Freeport dibuang ke alam. Hal ini mengakibatkan
turunnya daya dukung lingkungan sekitar pertambangan, terbukti longsor berulang
kali terjadi dikawasan tersebut. Bahkan salah satu anggota Panja DPR RI untuk
kasus Freeport menemukan fakta bahwa kecelakaan longsor akibat limbah batuan
terjadi rutin setiap tiga tahunan. Batuan limbah ini telah menimbun danau
Wanagon. Sejumlah danau berwarna merah muda, merah dan jingga dikawasan hulu
telah hilang, padang rumput Cartstenz juga didominasi oleh gundukan limbah
batuan lainnya yang pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai ketinggian 270
meter dan menutupi daerah seluas 1,35 km2. Erosi limbah batuan telah mencemari
perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah
menyebakan sejumlah kecelakaan.
Ada dua hal yang membuat tailing
Freeport sangat berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang sangat massif
dan dibuang begitu saja ke lingkungan. Kedua, kandungan bahan beracun dan
berbahaya yang terdapat dalam tailing. Freeport mengklaim bahwa tailingnya
tidak beracun karena hanya menggunakan proses pemisahan logam emas dan tembaga
secara fisik. Freeport menyebutnya sebagai proses pengapungan (floatasi), tanpa
menggunakan sianida dan merkuri. Hal yang sama juga dipakai oleh Newmont untuk
tambang emasnya di Batu Hijau Sumbawa, NTB. Faktanya, laporan Freeport
menyebutkan mereka menggunakan sejumlah bahan kimia dalam proses pemisahan
logam yang bahkan resiko peracunannya tidak banyak diketahui, bahkan oleh
Freeport sendiri. Disamping itu, didalam tailing Freeport masih terdapat
kandungan tembaga yang masih tinggi dan sangat beracun bagi
kehidupan aquatic. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan
biologis (bioavailability) oleh Freeport di daerah yang terkena dampak operasi
tambang membuktikan bahwa sebagian besar tembaga terlarut dalam air sungai
terserap oleh tubuh makhluk hidup dan ditemukan kandungannya pada tingkat
beracun. Tembaga terlarut pada kisaran konsentrasi yang ditemukan di sungai
Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis bagi 30% hingga 75% organism
air tawar. Tak hanya berbahaya karena kandungan logam beratnya, jumlah tailing
Freeport yang sangat masif juga memiliki bahaya yang sama. Hingga tahun 2005
tidak kurang dari 1 milyar ton tailing beracun dibuang Freeport ke sungai
Aghawagon-Otomona-Ajkwa. Padahal cara pembuangan tailing kesungai atau riverine
tailing disposal seperti ini telah dilarang disebagian besar negara di
dunia, termasuk Indonesia.
Batuan tambang Freeport mengandung
logam sulfide (metal sulfides). Dimana ketika digali, dihancurkan dan terkena
udara dan air akan menjadi tidak stabil sehingga menghasilkan masalah
lingkungan serius. Masalah ini dikenal sebagai air asam tambang (Acid Mine
Drainage). Yang berbahaya karena memiliki tingkat keasaman sangat tinggi (pH
rendah). Limbah batuan tambang Grasberg yang terakumulasi berpotensi membentuk
asam. Limbah batuan ini dibuang ke lingkungan sekitar Grasberg dan menghasilkan
AMD dengan tingkat keasaman tinggi hingga rata-rata pH=3. Kandungan tembaga
pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton dan eksperimen menunjukkan bahwa
sekitar 80% tembaga ini akan tebuang (leach) dalam beberapa tahun. Bukti
menunjukkan pencemaran AMD dengan tingkat kandungan tembaga sekitar 800
miligram per liter telah meresap ke air tanah di pegunungan. Resiko pencemaran
AMD juga terjadi di dataran rendah di daerah penumpukan tailing. Hal ini
terjadi karena Freeport menetapkan rasio yang sangat rendah dalam penetralan
asam (kapur) dibanding potensi maksimum keasaman hanya (1,3 : 1), bahkan lebih
rendah dibanding praktek terbaik industri tambang yang ada. Partikel sulfida yang
menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah dari partikel kapur yang lebih
ringan yang bertugas menetralisir asam.
Sebagian besar kehidupan air tawar
sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing telah hancur akibat
pencemaran dan perusakan habitat. Freeport telah melanggar PP No.82 Tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam pasal
11 disebutkan bahwa pencemaran air adalah memasukkan atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia,
sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Analisis Terhadap Permasalahan
PT. Freeport Indonesia merupakan
salah satu perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap sertifikasi ISO
14001, peraturan pemerintah, maupun terhadap undang-undang negara. Pemerintah
yang tidak mampu menindak tegas perusahaan tersebut merupakan tanda dari
lemahnya hukum di Indonesia. Pemerintah juga tidak memperdulikan sistem
pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi. Pemerintah menganggap
emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua dan
tidak mau melihat akibat dari pertambangan tersebut terhadap lingkungan
sekitar. Tidak terlihat pula pengontrolan pertambangan dari tahun ke tahun,
karena tidak ada perbaikan berkelanjutan terhadap manajemen lingkungan oleh
perusahaan tersebut. Kementrian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan
sejumlah bukti pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga
2006.
Seharusnya pemerintah melakukan
berbagai tindakan sebagai bentuk kepedulian terhadap negaranya itu sendiri.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara lain, melakukan evaluasi dan
penilaian secara berkala terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport terutama
aspek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, melakukan perubahan Kontrak
Karya Freeport yang lebih menguntungkan bagi negara, serta memfasilitasi demi
pelaksanaan tanggung jawab terhadap pemeliharaan negara guna mengedepankan
pembangunan yang berkelanjutan. Perusahaan juga wajib melakukan berbagai
tindakan perbaikan, yaitu diperuntukkan bagi manajemen puncak maupun setiap
pekerja. Salah satunya dengan melaksanakan kewajiban unit kerja, dimulai dari
mengidentifikasi kegiatan yang langsung berpengaruh terhadap lingkungan, sampai
ke tahap penanganannya. Diperlukan dokumentasi sistem manajemen lingkungan agar
pola kegiatan yang dilakukan lebih detail sesuai dengan prosedur dan dilakukan pula
kajian manajemen agar hasil nyata penerapan sistem dapat terlihat dengan jelas.
Sumber kasus:
No comments:
Post a Comment