Definisi
Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Segala
karya, ciptaan, atau hasil kemampuan intelektual manusia diatur dalam Hak Kekayaan
Intelektual (HaKI). Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) berkaitan dengan Intellectual
Property Rights (IPR), yaitu hak yang timbul untuk hasil pemikiran manusia
yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diatur
dalam UU No. 7 Tahun 1994. Perlindungan HaKI diberikan melalui hak paten, hak
cipta, atau merek dagang kepada pemilik atau penemunya. Karya intelektual
merupakan hasil kemampuan manusia yang berkaitan dengan teknologi, ilmu
pengetahuan, seni, dan lain-lain. Berikut ini merupakan dasar dari HaKI karya intelektual:
1.
Hasil suatu pemikiran dan kecerdasan manusia, yang dapat berbentuk
penemuan, desain, seni, karya tulis atau penerapan praktis suatu ide.
2. Dapat mengandung nilai ekonomis, dan oleh karena itu
dianggap suatu aset komersial.
Sejarah HKI
Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bagian penting dalam perkembangan
perekonomian di Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu
mengambil langkah yang tepat untuk dapat mengantisipasi segala perubahan dan perkembangan
global, salah satunya yaitu melindungi kekayaan intelektual. Pertama kali, undang-undang
mengenai HKI ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470.
Penemu yang muncul pada kurun waktu tersebut yaitu Caxton, Galileo dan
Guttenberg. Kemudian pada akhirnya, tahun 2001 World Intellectual Property Organization
(WIPO) telah menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual
Sedunia.
HKI di Indonesia dimulai pada tahun 2000. Sejarah
peraturan perundangan HKI di
Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan diundangkannya Octrooi
Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan
Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600. Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang
No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga
mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Pemerintah
mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif
berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21
Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Bagian-bagian HKI
Definisi dan sejarah dari HKI
telah kita diketahui, selanjutnya kita dapat mengenal tentang HKI secara lebih
jelas lagi dengan mengetahui bagian-bagian atau ruang lingkupnya. HKI dibagi
dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Hak cipta
(copyright);
2. Hak
kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
a. Paten (patent);
b. Desain industri (industrial
design);
c. Merek (trademark);
d. Penanggulangan praktek
persaingan curang (repression of unfair competition);
e. Desain tata letak sirkuit
terpadu (layout design of integrated circuit);
f. Rahasia dagang (trade
secret).
Berikut
ini adalah penjelasan singkat mengenai bagian-bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
1. Hak Cipta
Pengertian
hak cipta menurut UU No. 19 Tahun 2002: “Hak cipta adalah hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).
2. Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri merupakan hak yang berhubungan
dengan milik perindustrian dan menyangkut perlindungan hukum. Perusahaan-perusahaan
sangat disarankan untuk mendaftarkan hak kekayaan industri karena hal ini
merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
bersifat tidak legal, sebagai contoh terdapat produk yang benar-benar mirip
dengan produk yang dihasilkan perusahaan. Hak-hak yang diperlukan untuk mencegah terjadinya hal
tersebut antara lain:
a. Paten
(Patent)
Hak paten diatur dalam UU No. 14 Tahun
2001. Paten merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil
penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri penemuannya tersebut atau memberikan pesetujuannya kepada orang lain
untuk melaksanakannya.
b. Desain Industri (Industrial Design)
Desain industri diatur
dalam UU No. 31 Tahun 2000. Desain
industri dapat berupa kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi, garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungannya yang
mengandung nilai estetika dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang atau
komoditi industri dan kerajinan tangan.
c. Merek
(Trademark)
Hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun
2001. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersbut yang
memiliki daya pembeda dan dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan
jasa.
d.
Penanggulangan
Praktek Persaingan Curang (Repression of Unfair Competition)
Hak ini diatur dalam
UU No. 5 Tahun 1999. Penanggulangan
tersebut mempunyai harapan yaitu agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum
dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku
usaha dalam berusaha.
e.
Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit)
Hak ini diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2000. Denah tersebut berupa peta (plan) yang memperlihatkan
letak dan interkoneksi dari rangkaian komponen terpadu (integrated circuit),
unsur yang berkemampuan mengolah masukan arus listrik menjadi khas dalam arti arus,
tegangan, frekuensi, dan lain-lain.
f.
Rahasia Dagang (Trade Secret)
Rahasia dagang diatur dalam UU No. 30
Tahun 2000. Rahasia dagang adalah informasi di bidang teknologi atau bisnis
yang tidak diketahui oleh umum, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha dan dijaga kerahasiannya oleh pemiliknya.
Konsep HKI
Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci
yaitu: ”Hak”, ”Kekayaan”, dan ”Intelektual”. Kekayaan merupakan abstraksi yang
dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan ”Kekayaan Intelektual”
merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti
teknologi, pengetahuan, seni, sastra, dan sebagainya. Terakhir, ”Hak atas
Kekayaan Intelektual” (HKI) merupakan wewenang/kekuasaan untuk berbuat sesuatu
atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh hukum yang berlaku. Konsep
HKI adalah sebagai berikut.
1. Hak kewenangan, kekuasaan untuk berbuat
sesuatu (UU & wewenang menurut hukum).
2. Kekayaan hal-hal yang bersifat ciri yang
menjadi milik orang.
3. Kekayaan intelektual, yaitu kekayaan dari
kemampuan intelektual manusia (karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan,
seni dan sastra) yang menghasilkan "produk" baru dengan landasan
kegiatan penelitian atau yang sejenis.
Bentuk (Karya) Kekayaan Intelektual
Kemampuan intelektual manusia pada akhirnya akan
menghasilkan suatu karya. Berikut ini merupakan bentuk (karya) kekayaan
intelektual:
1.
Penemuan
2.
Desain Produk
3.
Literatur, Seni,
Pengetahuan, Software
4.
Nama dan Merek
Usaha
5.
Know-How
& Informasi Rahasia
6.
Desain Tata
Letak IC
7.
Varietas Baru
Tanaman
Tujuan Penerapan HKI
Penerapan
dari HKI memiliki tujuan terhadap berbagai pesaing di luar sana yang juga akan
membuat karya-karya, baik melalui ide individu ataupun ide orang lain. Berikut
ini merupakan tujuan penerapan HKI:
1.
Antisipasi kemungkinan melanggar HKI milik pihak lain.
2.
Meningkatkan daya kompetisi dan pasar dalam
komersialisasi kekayaan intelektual.
3.
Dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan strategi penelitian, usaha dan
industri di Indonesia.
Secara
pokok (dalam UU) pengaturan mengenai HKI dapat dikatakan telah lengkap dan
memadai. Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagi anggota WTO/TRIP’s dan
diratifikasinya beberapa konvensi internasional di bidang HKI sebagaimana
dijelaskan pada pengaturan HKI di internasional tersebut di atas, maka
Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Untuk
itu, pada tahun 1997, pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan
perundangan di bidang HKI, dengan mengundangkan:
1.
Undang-undang
No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak
Cipta
2.
Undang-undang
No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang
Paten
3.
Undang-undang
No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992
tentang Merek
Selain
ketiga undang-undang tersebut di atas, undang-undang HKI yang menyangkut ke-7
HKI antara lain:
1.
Undang-undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2.
Undang-undang
No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3.
Undang-undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
4.
Undang-undang
No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
5.
Undang-undang
No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
6.
Undang-undang
No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
7.
Undang-undang
No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Dengan
pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tentang
hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga
undang-undang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya
telah diundangkan:
1.
Undang-undang
No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
2.
Undang-undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (khusus mengenai revisi UU tentang Hak Cipta
saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR)
Pelanggaran dan Sanksi
Hukum
Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang hak cipta memberikan sanksi jika terjadi
pelanggaran terhadap tindak pidana di bidang hak cipta yaitu pidana penjara
dan/atau denda, hal ini sesuai dengan ketentuan pidana dan/atau denda dalam UU
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai berikut.
1.
Pasal 72 ayat
(1) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah).
2.
Pasal 72 ayat
(2) : Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau
hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
3.
Pasal 72 ayat
(3) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
4.
Pasal 72 ayat
(4) : Barangsiapa melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah).
5.
Pasal 72 ayat
(5) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
6.
Pasal 72 ayat
(6) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
7.
Pasal 72 ayat
(7) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
8.
Pasal 72 ayat
(8) : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
9.
Pasal 72 ayat
(9) : Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
10.
Pasal 73 ayat
(1) : Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta atau hak
terkait serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut
dirampas oleh negara untuk dimusnahkan.
11.
Pasal 73 ayat
(2) : Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat
unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.
Kenyataannya pada zaman sekarang ini, Indonesia tidak
lepas dari berbagai pelanggaran terhadap HKI. Faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi
warga masyarakat Indonesia untuk melanggar HKI adalah sebagai berikut.
1.
Pelanggaran HKI dilakukan untuk
mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari
pelanggaran tersebut;
2.
Para pelanggar menganggap bahwa sanksi
hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak
ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
3.
Ada sebagian warga masyarakat sebagai
pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal
ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
4.
Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas
produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
5.
Masyarakat tidak memperhatikan apakah
barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka
harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Di
bidang sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan
bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak
lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang. Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara
berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi
yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan
kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.
Sumber:
No comments:
Post a Comment