Kasus pencemaran limbah oleh PT
Surabaya Kertas yang menyebabkan kandungan logam berat raksa bertambah banyak
di kali Surabaya ataupun kali tengah memperlihatkan betapa tidak tanggapnya
pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah propinsi Surabaya. Hal yang
diherankan adalah pemerintah propinsi Surabaya yaitu gubernur melalui Bapedal
Jatim mengeluarkan surat ijin pembuangan limbah cair atau IPLC
kepada PT Surabaya Kertas. Melihat tugas dan wewenang pemerintah daerah yang
pada pasal 63 ayat 2, diterangkan bahwa pemerintah daerah dalam hal ini
pemerintah propinsi Surabaya berwenang melakukan penegakan hukum pada tingkat
propinsi. Pemerintah propinsi cenderung melindungi PT Surabaya Kertas dalam
penanganan pencemaran limbah ke kali Surabaya dan kali tengah yang dilakukan
oleh PT Surabaya Kertas tersebut. Gubernur juga mengeluarkan surat ijin
pembuangan limbah cair ke badan sungai kali Surabaya, padahal kali Surabaya ini
merupakan penyuplai atau bahan baku air minum bagi 3.000.000 warga kota
Surabaya. Akibatnya, kesehatan warga Surabaya sendiri akhirnya terancam dengan
adanya kandungan logan berat yang berbentuk mercury
atau air raksa yang berbahaya bagi kesehatan manusia itu sendiri serta
biota-biota yang hidup di sepanjang aliran sungai.
Menanggapi tersebut, perlu dibahas mengenai hukum
perundang-undangan tentang lingkungan. Terkait dengan sanksi yang dapat
diterapkan dalam kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Surabaya
Kertas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah memberikan
solusinnya, berikut adalah uraian secara singkat tentang penerapan sanksi bagi
perseorangan atau badan hukum yang telah melakukan pencemaran lingkungan
menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Ada 3 jenis sanksi yang dapat
diterapkan pada badan hukum yang telah terbukti melakukan pencemaran
lingkungan. Sanksi tersebut adalah sanksi administrasi, sanksi pidana dan
sanksi ganti rugi yang terdapat dalam ranah hukum perdata.
Pada pasal 76 sampai dengan pasal 83 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 dijelaskan tentang sanksi administratif yang
dapat diterapkan terhadap PT Surabaya Kertas. Sansi administratif dapat
berbentuk teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan
pencabutan izin lingkungan. Pada pasal 78 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 tidak membebaskan
penanggungjawab usaha dan atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan
pidana. Dari pasal tersebut badan hukum itu selain dapat dijerat oleh sanksi
administratif dapat pula dijerat dengan sanksi pidana. Pada pasal 80
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah dijelaskan bentuk-bentuk paksaan
pemerintah yang dapat dijatuhkan kepada badan hukum terkait dengan kegiatan
usaha yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Bentuk-bentuk paksaan pemerintah
adalah sebagai berikut:
1.
Penghentian
sementara kegiatan produksi
2.
Pemindahan
sarana produksi
3.
Penutupan
saluran pembuangan air limbah atau emisi
4.
Pembongkaran
5.
Penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
6.
Penghentian
sementara seluruh kegiatan
7.
Tindakan
lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup
Pada pasal 81 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 setiap penanggungjawab usaha yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi
paksaan pemerintah. Hukum pidana yang dikandung oleh Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 dapat dicatat telah mengalami kemajuan yang sangat berarti, jauh
lebih berkembang dari lingkup jangkauan yang dimiliki KUHP, UUPLH 1982, dan
UUPLH 1997. Proses penegakan hukum pidana meliputi tahap penyelidikan, tahap
penyidikan, tahap prosekusi, tahap peradilan, dan tahap eksekusi. Prinsip-prinsip
hukum pidana yang terkandung dalam hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai berikut:
1.
Prinsip
pemidanaan secara delik formal maupun materiil
2.
Prinsip
pemidanaan terhadap idividu
3.
Prinsip
pemidanaan terhadap korporasi
4.
Prinsip
pembedaan atas perbuatan kesengajaan dengan kelalaian
5.
Prinsip
penyidikan dengan tenaga khusus di bidang lingkungan
6.
Prinsip
pengenaan sanksi pidana secara khusus
Dasar hukum pemidanaan bagi pelaku
kejahatan lingkungan baik perseorangan maupun badan hukum terdapat pada pasal
97-120 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Untuk lebih jelasnya sebagai contoh
pasal 102 UUPLH 2009 dikutipkan sebagai berikut: “Setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat 4,
dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan
denda paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak
Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah).” Sesuai dengan pasal ini, seseorang
dapat disebut telah melakukan delik lingkungan hidup ternyata sudah memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut, melakukan perbuatan dengan sengaja atau lalai dan
menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup menurut undang-undang.
Terdapat juga ruang mengenai hukum perdata. Salah satu aspek
mengenai keperdataan di dalam di dalam UU ini adalah mengenai
pertanggungjawaban ganti rugi (liability).
Ganti rugi dalam kejahatan korporasi terhadap lingkungan adalah sebagian dari
hal-hal yang berhubungan dengan tanggungjawab mengenai kerusakan lingkungan
oleh perbuatan seseorang (environtmental responsibility).
Tanggungjawab lingkungan adalah merupakan rangkaian kewajiban seseorang atau
pihak untuk memikul tanggungjawab kepada penderita yang telah dilanggar haknya
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. UUPPLH 2009 menentukan environmental responsibility baik
masalah ganti rugi kepada orang-perorangan (privat
compensation) maupun biaya pemulihan lingkungan (public compensation). Dengan demikian sifat environmental liability bisa bersifat privat maupun publik, dalam
arti jika seseorang pencemar telah memenuhi tanggungjawabnya kepada
orang-perorangan, tidak berarti dengan sendirinya sudah selesai dan tidak lagi
dalam hal pemulihan lingkungan atau sebaliknya.
Dengan meilihat lagi keterangan-keterangan di atas maka dalam
rangka penerapan sanksi dan bentuk sanksi itu sendiri bagi PT Surabaya Kertas
adalah terdiri dari petanggungjawaban secara administratif yakni dari yang
paling ringan adalah teguran tertulis sampai yang paling berat adalah
pencabutan ijin usaha. Selain itu, dalam ranah hukum pidana, pelaku pencemaran
lingkungan dalam hal ini dapat dikenakan sanksi penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu
milyar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah). Dalam
hal ini yang terkena ancaman pidana ini adalah aktor intelektual atau penyebab
pencemaran atau penaggung jawab pengolahan limbah pada PT Surabaya Kertas
sesuai dengan pasal 102 UU no 32 tahun 2009. Dan bentuk sanksi yang terakhir adalah
sanksi dalam ranah hukum keperdataan adalah ganti rugi untuk perseorangan yakni
korban (privat compensation) serta
baya pemulihan lingkungan (environmental
responsibility) yang telah tercemar oleh limbah.
Sumber:
No comments:
Post a Comment